• Minggu, 17 November 2024

Makuta Binokasih Sanghyang Pake, Lambang Kejayaan Raja Pajajaran

Makuta Binokasih Sanghyang Pake, Lambang Kejayaan Raja Pajajaran Makuta Binokasih Sanghyang Pake/ Mahkota Raja Pajajaran

“Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya Dina Buana, Pakena Kerta Bener Pakeun Nanjeur Na Juritan”

Demikian esensi dari amanat luhur Prabu Siliwangi, yakni Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang melanjutkan kepemimpinan Prabu Maharaja Lingga Buana atau Prabu Wangi (1350-1357), sebagaimana tersurat dalam Prasasti Kawali I dan II yang kemudian dicukil juga dalam naskah Carita Parahiyangan. Amanat luhur Prabu Siliwangi yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat tersebut memberikan pelajaran berharga pada kita tentang arti penting membiasakan diri berbuat kebajikan untuk mencapai kejayaan yang lama di dunia, serta membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati untuk mencapai keunggulan dalam perang (pembangunan).

Kepemimpinan Prabu Siliwangi

Episode kepemimpinan Prabu Niskala Wastu Kancana merupakan salah satu penggalan sejarah emas yang mengangkat kebesaran Jawa Barat. Pada saat itu konon masyarakat bahagia sentosa, gemah ripah repeh rapih, tata tentrem kerta raharja. Pertanyaannya, kepemimpinan seperti apa yang dibawakan oleh Prabu Siliwangi sehingga mampu membawa Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan ?. Apabila mengkaji sejarah dengan seksama, jawabannya cukup basajan, yakni : Pertama. Kepemimpinan yang mampu menjaga amanat para leluhur (Purbatisti Purbajati). Amanat para leluhur Sunda sangat memperhatikan keselaran atau harmoni dalam kehidupan. Keselarasan manusia dengan dirinya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alamnya, manusia dengan negaranya, serta manusia dengan Sang Pencipta (Opat masagi kalima pancer). Dalam aras implementasi, nilai dimaksud oleh Prabu Siliwangi dilarutkan dalam perilaku membiasakan diri berbuat kebajikan serta berbuat untuk kesejahteraan. Dalam nomenklatur kekinian, ukuran capaian keberhasilan perilaku tersebut dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kebahagiaan.

Kedua. Kepemimpinan yang kuat tetapi lembut dan bijak (Birawa Anoraga). Prabu Siliwangi memiliki pendirian yang kuat untuk mencapai kejayaan di dunia dan keunggulan dalam perang, tetapi di operasionalkan melalui perangai yang lembut dan bijak. Membangun kekuatan dalam keadaan damai (Landung kandungan laer aisan, leuleus jeujeur liat tali). Sehingga tidak heran apabila efektivitas kepemimpinan Prabu Niskala Wastu Kancana cukup lama, menembus ruang dan waktu selama 104 tahun. Artinya Sang Prabu disayangi oleh masyarakat serta disegani oleh lawan. Beliau sempat menyaksikan pudarnya kejayaan kerajaan Majapahit karena dilanda Perang Paregreg (1453-1456) yang cikal bakal pemicunya adalah kejadian palagan Bubat. Bahkan secara hiperbolis, masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana oleh penulis Carita Pahiyangan digambarkan : “Jangankan manusia, apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), akasa (langit), serta bu (eter) merasa betah berada di bawah pemerintahannya”.

Ketiga. Kepemimpinan yang Visioner (Nganjang Ka Pageto). Seandainya Sang Prabu tidak memiliki kecerdasan emosional, tentu pasca palagan Bubat akan mencoba untuk menuntut balas. Sejarah mencatat, untuk mengantisipasi kebesaran Majapahit, Prabu Siliwangi tidak terjebak pada ambisi jangka pendek dengan mengobarkan peperangan melainkan pandangannya jauh ke depan,  fokus pada tujuan utama untuk mensejahterakan dan membahagiakan masyarakat. Suatu hal yang wajar apabila Prof. Dr. Ayatrohaedi (Yoseph Iskandar : 1997) bersikeras mengemukakan pendapatnya, bahwa Prabu Niskala Wastu Kancana inilah yang lebih tepat dikatakan sebagai tokoh Prabu Siliwangi. Karena Sang Prabu merupakan silih atau pengganti kebesaran dan keharuman nama ayahanda tercintanya, yakni Prabu Wangi  yang gugur di palagan Bubat.

Berangkat dari gambaran tersebut di atas, maka relevansinya dengan hari ini dan ke depan adalah siapa dan bagaimana sosok kepemimpinan Jawa Barat ?. Kalau melihat perjalanan sejarah, maka yang paling elok melanjutkan kepemimpinan di Jawa Barat adalah yang memiliki hubungan emosional dengan kebesaran Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan kepemimpinan Prabu Siliwangi sebagai ikonnya. Kerajaan Sumedang Larang  merupakan pelanjut Kerajaan Pajajaran, karena pasca “Pajajaran Burak” dan lenyap dari muka bumi (1579) yang menerima “Makuta Binokasih Sanghyang Pake” sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran Pajajaran dari Raja Pajajaran terakhir yakni

Prabu Ragamulya Suryakancana (1567-1579) adalah Prabu Geusan Ulun (1579-1610). Prabu Geusan Ulun merupakan Narendra Kerajaan Sumedang Larang yang mampu menyatukan kembali kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran dari Cisadane sampai Cipamali, yang meliputi 44 Kepala Rakyat, 26 Kandaga Lante dan 18 Umbul. Makuta Binokasih tersebut kini tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang.

** www.tarungnews.com **

Bagikan melalui:

Komentar